Aku gelisah, beberapa hari aku tidak bisa berpikir jernih. Aku lebih banyak diam di rumah. Untung suamiku sedang tugas luar kota selama satu minggu. Seandainya dia tahu kondisiku saat itu pasti dia akan banyak bertanya, dan aku mungkin tidak bisa jujur menjelaskan semuanya.
Aku berbaring di kamar setelah semua anak- anakku mandi. PR yang biasanya mereka kerjakan setelah mandi sore dan aku selalu menemani, kali ini aku tidak menemani mereka.
“Maafkan ibu ya, Dik, kepala ibu pusing sekali,” jelasku pada anak-anak.
Aku kembali ke kamar dan membiarkan mereka sibuk dengan tugasnya. Aku kembali mengingat masa- masa SMA-ku dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengan Ahmad dan saat pertama kali dia akan mengutarakan perasaannya padaku. Selama seminggu, aku mengerjakan pekerjaan rumah dengan seenaknya. Biasanya aku memasak kesukaan anak-anak dan suami tanpa diminta, kali ini masak ya kalau anakku meminta kalau tidak cukup beli di warung. Demikian juga pekerjaan rumah lain hanya dikerjakan mbak yang membantu kami di rumah. Cerita itu kembali menggelayut di pikiranku. Kubuka laptop, ingin kutumpahkan seluruh perasaanku melalui goresan halus jajaran huruf-huruf.
Siang itu, usai pulang sekolah aku ke rumah Wiwin yang kebetulan dekat rumah Ahmad. Kami berdua akan mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh Pak Yono, guru kimia kami. Aku berboncengan dengan Wiwin. Di belakang kami ada beberapa teman yang bersepeda, termasuk salah satunya Ahmad. Dia tersenyum-senyum melihatku berboncengan dengan Wiwin.
“Anak yang aneh, senyum-senyum sendiri,” kataku pada Wiwin.
“Hmm,” jawab Wiwin sambil mengayuh sepedanya.
Setelah 20 menit kami sampai rumah Wiwin. Bergegas kami salat dan makan siang. Kami berdua segera mengerjakan tugas itu. Beberapa buku dan koran berserakan di lantai. Guntingan-guntingan kertas koran bersebaran di kursi. Setelah hampir 2 jam kliping kimia sudah selesai. Aku bermaksud membersihkan kertas-kertas itu, sementara Wiwin masuk ke dalam mengambil jajanan kesukaannya.
“Assalamualaikum.” Aku menengok, dan betapa kagetnya aku, Ahmad sudah ada di depan pintu.
“Waalaikumsalam.” Kujawab salamnya. “Siapa, Put?” tanya Wiwin dari dalam.
“Win , ada Ahmad mencarimu,” jawabku seenaknya.
Sambil menyapu lantai aku lihat Ahmad masuk sambil senyum-senyum sendiri.
“Aneh,” batinku.
Sambil menyapu kuperhatikan Ahmad. Dia duduk bercelana pendek warna cokelat tua dan berkaus putih. Badannya yang tinggi membuat dia terlihat semakin tinggi. Dia datang dengan membawa tupai. Dia asyik bermain dengan tupainya. Beberapa kali tupai itu melompat ke pundak dan pangkuannya. Begitu akrabnya meraka berdua.
Wiwin keluar. Wiwin dan Ahmad bercakap-cakap lirih saat aku membuang sampah ke depan. Aku masuk, masih membawa sapu dan cikrak sampah. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB.
“Put, ini Ahmad mau bicara sama kamu,” kata Wiwin.
“Ngomong apa, ngomong aja langsung. Ini udah sore. Aku mau pulang,” jawabku sambil duduk.
Wiwin beranjak dari duduknya. Dia masuk kamar. Mau salat asar katanya. Sementara aku dan Ahmad duduk berhadapan. Aku tunggu dia berbicara. Dia diam. Aku pun diam.
“Katanya mau ngomong sesuatu, kok diam saja sejak tadi,” tanyaku penasaran.
“Maaf aku nggak bisa ngomong,” jawabnya. “Kamu mau pulang jam berapa?” lanjutnya.
“Ni, sebentar lagi, mau salat asar dulu,” jawabku. “Diantar Wiwin?” tanya Ahmad.
“Paling sampai jalan depan saja. Aku mau naik angkotan saja,” jawabku.
“Katanya mau bicara, tentang apa ya?” tanyaku lagi.
“Nggak jadi,” kataya lirih sambil menunduk. “Kamu itu aneh-aneh saja, bener nggak jadi ya. Aku mau salat dulu, terus pulang,” kataku.
Dia mengangguk dan menyilakan aku salat asar. Usai salat asar, aku pulang. Wiwin dan Ahmad mengantarku sampai aku dapat angkutan. Tak sengaja secara bersamaan aku dan Ahmad saling memandang. Entahlah.
Penulis : Puji Prasetyowati
Komentar