Aku berseragam putih abu-abu turun dari angkutan berwarna hijau. Dengan beberapa teman sekelasku aku masuk kelas. Ahmad sudah duduk di kursiku, sementara teman sebangkuku sudah duduk bersamanya.
“Ahmad, kamu kok duduk di kursiku, aku duduk di mana?” tanyaku.
“Ya, kamu duduk dengan aku,” katanya. “Ada-ada saja,” jawabku.
Dia tak beranjak. Sementara Wiwin, temanku mengalah, dia duduk di belakang menggantikan tempat Ahmad. Sebenarnya aku akan duduk di kursi Ahmad, tapi Wiwin melarangku.
“Sudah kamu duduk di sini saja,” kata Wiwin.
Aku pun duduk bersebelahan dengan Ahmad. Kami mengikuti pelajaran seperti biasa. Sampai kami pulang. Ahmad berjalan di sampingku, sambil menyanyikan lagu kesukaannya. Ahmad menemaniku menunggu angkutan.
“Kamu kok nggak segera pulang?” tanyaku. “Nanti saja, aku kan bawa sepeda,” jawabnya.
Besok Minggu, teman-teman mau main ke rumahku mengambil buah rambutan. Kamu mau ikut ndak?” tanyanya kemudian.
“Nggak ah, aku malas pergi, ndak boleh sama ibu,” jawabku.
“O, begitu. Ya sudah,” jawabnya.
Dia diam, ada sejuta kecewa yang kutangkap. Dia menatapku dan aku hanya tersenyum. Ahmad memegang pundak dan kemudian tanganku.
Aku terkejut, ternyata aku bermimpi.
Aku duduk. “Ya Allah, mengapa aku bermimpi dia. Setelah sekian lama aku tak bertemu dengan dia mengapa malam ini Engkau mempertemukan kami dalam mimpi. Kau gugah kembali perasaanku padanya setelah 17 tahun aku simpan. Aku sudah berkeluarga, dengan cinta yang suami dan anakku berikan padaku saat ini sudah cukup membahagiakanku.
Aku miring ke kanan. Kulihat suamiku masih terlelap. Kupeluk suamiku, aku meneteskan air mata. Air mata tidak mau kehilangan. Setengah sadar suamiku kembali memelukku. Beberapa lama aku mencoba memejamkan mata dan menghilangkan mimpi itu. Hingga aku pu tertidur kembali dan terbangun dengan suara azan subuh. Dalam doa subuh yang hanya aku dan Allah yang tahu, aku memohon agar Allah memberikan kekuatan agar aku bisa melupakan mimpi itu.
Paginya, rutinitas kami pun kembali seperti biasanya di hari libur terakhir. Anak-anak menyiapkan perlengkapan sekolahnya, sementara aku sibuk memasak dan membersihkan rumah. Suamimku mencuci mobil dan sepeda motor.
Sekitar pukul 10.00 WIB HP suamiku berbunyi. Tanpa sengaja aku membuka WA di HP. Ada japri masuk. Aku baca, ada sesuatu yang kurasakan. Aku diam.
“Mas, ada WA,” kataku. “Ya, sebentar,” jawabnya.
“Kalimatnya kok kayak gitu ya pada pimpinan,” tanyaku. Kebetulan suamiku adalah seorang pemimpin di sebuah instansi.
“Ah, biasa saja. Dia dulu teman SMA-ku sekarang aku malah sekantor dengan dia,” jelas suamiku.
Suamiku masuk mengambil HP-nya. Sekilas dia membaca dan kembali meneruskan mencuci mobil. Aku penasaran, kubuka lagi HP suamiku, aku hampir menangis membaca WA dari teman suamiku. Dari WA itu aku tahu suamiku tak menanggapinya.
Suamiku masuk ke rumah. Dia melihat aku diam.
Dia bertanya.
“Ada apa?” tanya suamiku.
“Apa iya, anak buah WA dengan pimpinan seperti itu?”
“Nggak usah digubris, biarkan saja,” jawabnya. “Iya, tapi tidak wajar saja,” kataku.
“Iya, memang ibu itu pernah suka denganku saat SMA sampai aku kuliah. Dia kaget saat melihat kita berboncengan di kampus waktu itu. Dia kecewa dan patah hati saat itu. Dan hal itu baru aku ketahui beberapa hari yang lalu. Dia bercerita padaku saat aku ditugaskan di instansi itu pada hari yang kedua. Aku juga kaget mendengar pengakuannya. Aku memahami perasaannya dan aku tidak mungkin melarangnya. Aku jelaskan bahwa sekarang kami adalah rekan kerja. Sebatas teman kerja saja dan dia pun menyetujuinya,” lanjut suamiku.
Suamiku memelukku dan diciumnya kening dan pipiku. Dicubitnya pipiku. Aku berusaha mengelak tapi dia mendekapku.
“Aku senang jika kamu cemburu, karena kamu selama ini tidak pernah punya rasa cemburu. Itu tandanya kamu menyayangiku. Percayalah padaku, akad suci itu tidak mungkin aku khianati,” lanjutnya.
“Kalau kamu tidak percaya, kapan-kapan aku pertemukan kalian. Biar bisa bercerita bersama,” tawaran suamiku.
“Enggak ah, malas. Ndak ada faedahnya,” jawabku.
“Atau kamu bisa bertanya keseharianku di sekolah pada teman-teman sekantorku,” lanjutnya.
Aku hanya merasa aneh saja, seorang anak buah chattingan dengan pimpinan seperti itu. Aku diam, aku tak mau melanjutkan pembicaraan itu. Aku menggeleng. Aku percaya pada suamiku meski ada rasa sedikit kekhawatiran, tapi aku percaya Allah akan menjaganya.
Penulis : Puji Prasetyowati
Komentar