Seperti biasanya, aku berangkat bersama teman- temanku. Aku duduk di kursiku. Sesaat kemudian aku lihat Wiwin dan Ahmad datang bersamaan. Wiwin duduk di sampingku. Bel masuk berdentang dengan sangat keras. Kami masih saja gaduh di dalam kelas sembari menunggu guru jam pertama. Beberapa temanku masih bercanda, bahkan ada yang masih bernyanyi- nyanyi seenaknya.
Kami mengikuti pelajaran seperti biasanya hingga jam istirahat pertama. Saat istirahat sengaja aku nggak keluar kelas karena aku kurang enak badan. Semalam aku demam. Wiwin pun tak ikut keluar. Dia menata buku.
“Put, kamu tahu ndak Ahmad kemarin mau ngomong apa sama kamu?” tanya Wiwin.
“Ya, nggaklah, aku tunggu lama, emang ada yang penting?” tanyaku kemudian.
Wiwin bercerita kalau kemarin sore setelah mengantarku, Ahmad kembali ke rumah Wiwin. Ahmad menceritakan bagaimana perasaannya padaku. Dia menaruh hati padaku sejak pertama dia bertemu dengan aku. Hanya saja dia tidak berani mengakuinya padaku.
Aku benar-benar tak menduga dengan apa yang diceritakan Wiwin. Aku menganggap Ahmad seperti teman laki-laki yang lain. Tak ada perasaan yang lain. Bahkan kalau dihitung-hitung aku jarang berbicara dengan dia. Selama ini dia juga tak pernah berusaha mendekatiku bahkan dia cenderung akrab dengan teman-teman wanita lain. Maklum, saat itu dia termasuk kelompok anak borju, sebutan anak-anak orang kaya di kelasku, jadi teman sepermainannya pun kelompok itu.
“Biarlah, Win, nggak usah dianggap.” Begitu jawabku.
“Bener loh, Put, dia sudah lama mencintaimu,” jawab Wiwin.
Aku biarkan Wiwin bercerita tentang Ahmad. Tak kutanggapi Wiwin hingga akhirnya Wiwin mengalah dan diam.
Penulis : Puji Prasetyowati
Komentar